FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
MAKALAH BIOFARMASI
“PEMBERIAN OBAT SECARA ORAL
BIASA”
OLEH
:
KELAS W2
KELOMPOK I
·
FITRI ARIFAH
·
SAKINAH
·
NURUL INAYAH
·
RINAWATI
·
NURUL MUTHMAINNAH
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2012
BAB I
LATAR BELAKANG
Tujuan terapi obat adalah mencegah,
menyembuhkan atau mengendalikan berbagai
keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus
disampaikan pada jaringan target sehingga kadar terapeutik didapatkan .Dokter
klinik harus mengetahui bahwa kecepatan awitan kerja obat, besarnya efek obat
dan lamanya kerja obat dan lamanya kerja obat di kontrol oleh empat proses dasar gerakan dan modifikasi obat
dalam tubuh.
Pemberian
obat per oral merupakan cara pemberian yang paling alamiah untuk semua bahan
yang akan diserap oleh organ tubuh. Fungsi alat cerna adalah menyerap sebagian
besar bahan-bahan yang diperlukan untuk hidup. Sakit, terutama untuk hidup.
Cara pemberian obat peroral paling banyak dipakai di luar lingkungan penyakit
menahun dengan masa perawatan yang lama bahkan yang seumur hidup (penggunaan
obat anti-epileptik, anti-diabetik dll) pemakaian obat per oral merupakan cara
yang umum dan nyaman . Untuk anak-anak pemberian obat per oral lebih dapat
diterima karena umumnya sediaan mengandung sirop dengan aroma yang enak dan
cara pemberiannya yang mudah misalnya pemberian gerusan tablet atau isi kapsul
dalam sendok yang dicampur selai atau susu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fisiologi
1.
Usus Halus
Tempat absopsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi
yanng sangat luas, yakni 200 m2 ( panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan
villidan mikrovilli ) ( Ganiswara.et.al, 1995).
pada umumnya
terjadi secara difusi pasif,karena itu
absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larutdalam
lemak. Absorpsi secara transpor aktif terjadi teutama di dalam usus halus
Vaskularisasi
Aliran darah bersumber pada arteria mesenterica superior
melaui cabang aa.jejenales dan aa.ileae. pembuluh-pembuluh darah berjalan di
dalam mesenterium.
Saraf
3 jenis serabut saraf fungsional :
♦ Neuron kolinergik/parasimpatis (n.vagus) → memudahkan kontraksi
♦ Neuron adrenergik/simpatis (n.splanchnicus) → menghambat
kontraksi
♦ Serabut inhibisi non-adrenergik → ↓ motilitas → ATP
2.
Hati
Zat racun yang masuk ke dalam tubuh akan disaring terlebih
dahulu di hati sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hati menyerap zat racun
seperti obat-obatan dan alkohol dari sistem peredaran darah. Hati mengeluarkan
zat racun tersebut bersama dengan getah empedu.
Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel
hati.
VASKULARISASI
Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melaui vena hepatica kanan dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior.
Vena porta bersifat unik karena terletak diantara dua daerah kapiler, yang satu terletak dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel melingkari lobules hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena interlobularis yang berjalan diantara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobules membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu dan membentuk vena hepatica. Cabang-cabang terhalus anteria hepatica juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteria hepatica dan darah vena dari vena porta. Tekanan yang meningkat dalam system portal adalah manifestasi lazim gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh tempat darah portal berasal.(Prise, 2003)
Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melaui vena hepatica kanan dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior.
Vena porta bersifat unik karena terletak diantara dua daerah kapiler, yang satu terletak dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel melingkari lobules hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena interlobularis yang berjalan diantara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobules membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu dan membentuk vena hepatica. Cabang-cabang terhalus anteria hepatica juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteria hepatica dan darah vena dari vena porta. Tekanan yang meningkat dalam system portal adalah manifestasi lazim gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh tempat darah portal berasal.(Prise, 2003)
Saraf
Hepar mendapatkan
innervasi dari :
a. Nn. Splanchnici
Innervasi ini bersifat sympatis untuk pembuluh darah di dalam hepar. Diperoleh melalui plexus coeliacus dan merupakan serabut-serabut postganglioner.
b. N.Vagus dextra et sinistra
Bersifat parasympatis, berasal dari chorda anterior dan chorda posterior nervi vagi.
• Corda anterior (dari N.Vagus sinistra), mengikuti a.gastrica dexter masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis, member cabang-cabang yang disebut rami hepatici.
• Chorda posterior (dari N.Vagus dextra), setelah empersarafi gaster lalu masuk plexus coeliacus, lalu mengikuti ligamentum hepatoduodenale menuju ke porta hepatis.
c. N.Phrenicus dekstra
Setelah masuk ke dalam cavum abdominalis, selanjutnya menuju ke plexus coeliacus, mengikuti ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis.
a. Nn. Splanchnici
Innervasi ini bersifat sympatis untuk pembuluh darah di dalam hepar. Diperoleh melalui plexus coeliacus dan merupakan serabut-serabut postganglioner.
b. N.Vagus dextra et sinistra
Bersifat parasympatis, berasal dari chorda anterior dan chorda posterior nervi vagi.
• Corda anterior (dari N.Vagus sinistra), mengikuti a.gastrica dexter masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis, member cabang-cabang yang disebut rami hepatici.
• Chorda posterior (dari N.Vagus dextra), setelah empersarafi gaster lalu masuk plexus coeliacus, lalu mengikuti ligamentum hepatoduodenale menuju ke porta hepatis.
c. N.Phrenicus dekstra
Setelah masuk ke dalam cavum abdominalis, selanjutnya menuju ke plexus coeliacus, mengikuti ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis.
3.
Ginjal
Fungsi
ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun; mempertahankan
keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari
cairan tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam
tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin
dan amoniak.( Menurut Syaifuddin 1995)
Saraf
Ginjal mendapat
persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur
jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan
pembuluh darah yang masuk ke ginjal. (Price,1995)
B.
Fase
Farmakokinetik
Fase farmakokinetik berkaitan dengan
masuknya zat aktif ke dalam tubuh. Pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisiko-kimia
yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan
salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada
tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas terapetik obat.
Perjalanan obat dalam tubuh terdiri dari
empat tahap, yaitu : Absorpsi (penyerapan), Distribusi (Penyebaran),
Metabolisme dan Ekskresi (pengeluaran) yang keseluruhannya memebentuk sistem
yang lebih dikenal dengan singkatan A.D.M.E
a.
Absorpsi (Penyerapan)
Yang
dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar
biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila molekul zat aktif berada
dalam bentuk terlarut.
b. Distribusi
(Penyebaran)
Setelah
molekul zat aktif masuk ke dalam peredaran darah, maka selanjutnya zat aktif
tersebut akan disebarkan ke seluruh bagian tubuh, sama halnya dengan molekul
lain dalam fase aquous mampu menyaring secara ultra dan melewati sawar membran.
Dalam penyebarannya, secara kualitatif dan kuantitatif sifat fisiko-kimia zat
aktif sangat menentukan afinitasnya, sedangkan peredaran darah yang menyebar ke
seluruh jaringan tubuh menunjukkan jalur penyebarannya.
Seperti
pada setiap tahap sistem ADME, maka tahap penyebaran zat aktif mmerupakan
fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar
zat aktif (kecuali jika terjadi proses keseimbangan semu akibat pemberian obat
terus menerus). Pengertian akumulasi atau penimbunan, terutama penimbunan bahan
toksik, harus dijajagi dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan
antara kecepatan “masuk” dan kecepatan “keluar”.sebenarnya penimbunan bahan
toksik merupakan efek racun atau hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat
lambatnya laju pengeluaran dibandingkan dengan laju penerapan. Pengertian
keadaan tunak atau keadaan seimbang dalam farmakokinetik, berarti laju
penyerapan sama dengan laju peniadaan. Pada laju yang sedang, usaha
keseimbangan itu sama dengan pemberian yang diulang-ulang. Keseimbangan juga
dapat diperoleh dengan cara pemberian obat yang menghasilkan laju yag tetap
misalnya dengan cara perfusi.
c. Metabolisme
dan Ekskresi (Pengeluaran)
Adanya
molekul asing di dalam tubuh akan memaksa organ tubuh agar melenyapkan molekul
asing tersebut. Pengeluaran molekul zat aktif yang tidak berubah merupakan
proses peniadaan melalui jalan keluar tubuh yaitu melalui saluran seperti
halnya molekul endogen. Ginjal dan air kemih merupakan sistem pengeluran yang
klasik, tetapi harus diingat peranan pengeluaran feses (baik secara langsung
atau melalui empedu) juga jangan dilupakan peranan khusus paru, kulit (keringat
dan penggantian kulit) serta peranan kelnjar susu dan air susu. Metabolisme
trejadi secara kimiawi dan kinetik metabolisme dan kinetik pengeluarannya
merupakan kinetik peniadaan.
C.
Fase
Biofarmasetik
Fase biofarmasetik melibatkan seluruh
unsur-unsur yang terkait mulai saat pemberian obat hingga terjadinya penyerapan
zat aktif. Kerumitan peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan
bentuk sediaan, yang secara keseluruhan berperan pada proses predisposisizat
aktif dalam tubuh. Seperti diketahui fase farmakodinamik dan farmakokinetik
mempunyai sifat individual spesifik dalam interaksi tubuh dan zat aktif. Hal
tersebut selanjutnya mempengaruhi intensitas farmakologik dan kinetik zat aktif
suatu obat di dalam tubuh. Dengan demikian fase biofarmasetik merupakan salh
satu kunci penting untuk memperbaiki aktivitas terapetik.
Fase bioarmasetik dapat diuraikan dalam
tiga tahap utama, yaitu L.D.A yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi
(Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan. Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E
pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga tahap L.D.A berbeda pada setiap
jalur.
1.
Liberasi
(Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat
berarti ia mendapatkan zat aktif yang diformula dalam bentuk sediaan dan dengan
dosis tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika mencapai
tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam istilah
anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan
tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara
cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengruhi oleh keadaaan lingkungan
biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic
usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau kenyal (tablet,
suppositoria dll).
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan
ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan misalnya
untuk sebuah tablet. Dari tahap pertama ini diperoleh suatu disperse halus
padatan zat aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.
2.
Disolusi
(Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat
setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara
progresif, yaitu pembentukan disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga
diterapkan pada obat-obtan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam
minyak, tetapi yang terjadi adalah proses ekstraksi (penyarian). Setelah
pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timul endapan zat aktif yang
biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut
selanjutnya akan melarut lagi.
3.
Absorpsi
(Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase
biofarmasetik dan awal fase farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar
merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh
pemahaman ketersediaan hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada
bagian parameter, terutama sifat fisika-kimia molekul obat. Absorpsi ini
tergantung juga pada tahap sebelumnya yairu saat zat aktifnya berada dalam fase
biofarmasetik.
Dengan demikian proses penyerapan zat
aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah
melarut dalam cairan biologi setempat.
Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif
merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah
yang diserap maupun laju penyerapannya.
4.
Bioavabilitas
(Ketersediaan hayati)
Gabungan pengertian laju penyerapan dan
jumlah yang diserap pada fase disposisi obat dalam tubuh menghasilkan konsep
keersediaan hayati.
Profil keberadaan bahan obat di dalam
darah fungsi dari waktu disebut pula “profil bioavabilitas” atau profil
ketersediaan hayati”. Profil ini menggambarkan interaksi antara fase
ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga
mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidak diketahui sebelumnya.
D.
Faktor-faktor yang mempengaruhi LDA
1.
Faktor fisikokimia
a.
Faktor fisika
·
Ukuran partikel :Penurunan ukuran partikel dapat mempengaruhi laju absorbsi dan
kelarutannya.
·
Bentuk kristal dan amorf : bentuk kristal umumnya lebih sukar larut dari pada bentuk amorfnya
·
Solvat dan hidrat : selama kristalisasi molekul air dan pelarut dapat berikatan kuat
dengan zat aktifnya menghasilkan solfat , bila pelarut air terbentuk hidrat.
b.
Faktor kimia
·
Pengaruh
pembentukan garam : untuk mengubah senyawa asam dan basa yang sukar larut dalam air
sehingga mempengaruhi laju kelarutannya
·
Pengaruh
pembentukan ester : menghambat atau memperpanjang aksi zat
aktif
2.
Faktor fisiologi
v
Permukaan penyerapnyai permukaan penyerap
Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti
dibandingkan dengan usus halus. Namun mukosa lambung dapat menyerap obat yang
diberikan peroral dan tergantung pada keadaan, lama kontak menentukan
terjadinya penyerapan pasfi dari zat aktif lipofil dan bentuk tak terionkan
pada PH lambung yang asam.Penyerapan pasif dapat terjadi pada usus halus secara
kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan peranan PH yang akan mengionisasi
zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga penyerapan hanya terjadi pada
daerah tertentu.
Suatu alkaloida yang larut dan terionkan dalam cairan
lambung,secara teori kurang diserap. Bila PH menjadi netral atau alkali, bentuk
basanya akan mengendap pada PH 5,5. Bentuk basa tersebut kadang-kadang sangat
tidak larut untuk dapat diserap dalam jumlah yang cukup . Oleh sebab itu harus
dirancang suatu sediaan dengan pelepasan dan pelarutan zat aktif yang cepat.
v
Umur
Saluran cerna pada bayi yang baru lahir bersifat sangat
permeabel dibandingkan bayi yang berumur beberapa bulan .Pada bayi dan
anak-anak, sebagian sisttem enzimatik belum berfungsi sempurna sehingga dapat
terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu yang disebabkan tidak sempurnyanya
proses detiksifikasi metabolik, atau karena penyerapan yang tidak sempurna dan
karena gangguan saluran cerna.
v
Sifat membran biologik
Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa
pencernaan akan mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan
terjadinya difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk
yang terinkan di lambung dan terutama di usus besar.
3.
Faktor Patologi
A.
Faktor patologik
Faktor penghambat dan penurunan efek obat :
·
Gangguan penyerapan di saluran
cerna, karena adanya perubahan transit getah lambung dan keadaan mukosa usus.
·
Penurunan absorbsi parenteral
karena penurunan laju aliran darah
·
Peningkatan eliminasi zat aktif
melalui ginjal , karena alkalosis atau asidosis.
Faktor penghambat dan peningkat efek obat :
·
Peningkatan penyerapan karena
terjadi kerusakan membranpada tempat kontak
·
Insufisiensi hati
·
Insufisiensi ginjal
·
Gangguan pada sistem endokrin
berakibat pada penekanan laju reaksi
biotransformasi
Daftar pustaka
Ganiswara, S.G.1995.”
Farmakologi dan Terapi. Edisi 4”. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta
Katzung.1989.”Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3”.EGC: Jakarta
Lamid, Sofyan.” Farmakologi Umum” I. EGC: Jakarta
Mycek.2001.Farmakologi Ulasan Bergambar.Widya Medika : Jakarta
Price, S.A. 2003.” Gangguan hati, Kandung
Empedu, dan Pankreas Patofisiolegi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar